GLOBALISASI PEMBANGUNAN MIGRASI DAN KONFLIK
GLOBALISASI
PEMBANGUNAN MIGRASI DAN KONFLIK
2.1
Pembangunan
Definisi pembangunan sosial menurut Midgley (2005:37),
adalah suatu proses perubahan sosial yang terencana yang didesain untuk
mengangkat kesejahteraan penduduk secara menyeluruh, dengan menggabungkannya
dengan proses pembangunan ekonomi yang dinamis. Mengapa direncanakan? Hal ini
karena diinginkan adanya perubahan manusia dan kesejahteraan. Pembangunan
sosial menurut Midgley (2005:34) adalah pendekatan pembangunan yang secara
eksplisit berusaha mengintegrasikan proses ekonomi dan sosial sebagai kesatuan
dari proses pembangunan yang dinamis, membentuk dua sisi dari satu mata uang
yang sama. Pembangunan sosial tidak akan terjadi tanpa adanya pembangunan
ekonomi, begitu pula sebaliknya pembangunan ekonomi tidaklah berarti tanpa
diiringi dengan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat secara menyeluruh. Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita
penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Pembangunan ekonomi diidentikkan
dengan pertumbuhan ekonomi, ekonomika pembangunan sebagai cabang ilmu ekonomi
yang relatif baru memusatkan perhatian pada taktor-faktor penentu pertumbuhan
ekonomi (Arndt, 1996: 6).
Pembangunan Politik dalam konotasi geografis, berarti terjadi proses
perubahan politik pada negara-negara berkembang dengan menggunakan
konsep-konsep dan metode yang pernah digunakan oleh negara maju. Fenomena ini
mengakibatkan timbulnya instabilisasi poltik yang memengaruhi kapasitas sistem
politik. Pembangunan Politik dalam arti derivatif,
dimaksudkan bahwa pembangunan politik merupakan aspek dan konsekuensi politik
dari proses perubahan secara menyeluruh, yakni modernisasi yang membawa
konsekuensi pada pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, peningkatan pendidikan, media
massa, perubahan status sosial dan aspek-aspek lainnya. Pembangunan Politik
dalam arti teleologis,
dimaksudkan sebagai proses perubahan menuju pada suatu atau beberapa tujuan
dari sistem politik, seperti stabilitas politik, integrasi politik, demokrasi,
stabilitas nasional.Pembangunan politik dipandang sebagai keadaan masyarakat
politik yang dapat membantu jalannya pertumbuhan ekonomi. Pembangunan politik
adalah syarat politik berlangsungnya pertumbuhan ekonomi. Pandangan bahwa
pembangunan politik merupakan kehidupan politik yang khas dan ideal dari
masyarakat industri berhubungan erat dengan pandangan politik identik dengan
modernisasi politik. Pembangunan politik meliputi serangkaian usaha
penerjemahan perasaan-perasaan nasionalisme menjadi semangat kewarganegaraan,
dan usaha pembentukan lembaga-lembaga negara yang dapat menampung
aspirasi-aspirasi (nasionalisme) masyarakat ke dalam kebijakan dan program.
Teori postkolonial merupakan teori baru yang
berkembang sebagai upaya kritik atas kesewenang-wenangan yang terjadi setelah
penjajahan (kolonialisme). Konsep Bhaba mengenai
postkolonialisme bahwa penjajah itu split seperti Max Havelar yang melahirkan
politik etis di Indonesia. Baik dari konsep Said maupun Bhaba, konsep dari
poskolonial bermuara pada lost identity atau kehilangan jati dirinya,
baik dalam orientalisme, mimikri, maupun hibriditi. Homi K.
Bhaba (dalam Faruk, 2007:6) membuktikan bahwa sebagai tanda, wacana kolonial
selalu bersifat ambigu, polisemik. Karena itu, konstruksi kolonial mengenai
dirinya maupun mengenai Timur dapat memperoleh pemaknaan bermacam-macam dan
bahkan bertentangan. Peniruan yang dilakukan oleh masyarakat terjajah terhadap
model-model kehidupan yang ditawarkan oleh wacana kolonial, identifikasi
masyarakat terjajah terhadap penjajahnya. Pada level pemaknaan, tindakan
masyarakat terjajah untuk meniru (to mimic) itu dapat pula menjadi suatu
ejekan (mockery) terhadap penajajah karena mereka tidak melakukan
peniruan sepenuhnya setia pada model yang ditawarkan penjajah. Faruk (2007:6)
menyatakan bahwa tindakan masyarakat terjajah dalam melakukan peniruan ada
kemungkinan mengejek penjajah karena mereka tidak melakukan peniruan dengan
sepenuhnya setia pada model yang ditawarkan penjajah. Peniruan yang dilakukan pribumi atas
penjajah Belanda bukan melalui bahasa, melainkan lebih banyak melalui gaya
hidup yang menurut Adam (Faruk, l998: 3) sebagai manifestasi dari hasrat
masyarakat terjajah untuk menyesuaikan diri dengan kehendak zaman, mencapai
kemajuan, dan menempatkan diri sama dengan bangsa penjajah. Menurut Macaulay
(Bhabha, l994: 87), titik persinggungan antara mempelajari Eropa dan kultur
kolonial adalah kelas interpreter, yakni sebuah kelas dimana pada tubuh
orang-orangnya mengalir darah India, dan warna kulitnya menunjukkan orang
India, tetapi cita rasa, pandangan, moral, dan intektualnya adalah Inggris.
Lepas dari postkolonialisme, disadari atau
tidak, negara berkembang dan negara dunia ketiga “tidak pernah bisa” mengejar
ketertinggalannya dengan Barat. Negara berkembang dan negara dunia ketiga
terkondisikan untuk selalu berada dibawah bayang-bayang negara maju. Alasannya
bisa karena negara berkembang atau negara dunia ketiga memproduksi
bahan pangan dan bahan mentah yang diperlukan oleh negara maju dalam perindustrian
mereka. Hal ini akan menyebabkan ketergantungan negara berkembang akan
hasil-hasil industri yang dihasilkan oleh negara-negara maju, dan pada akhirnya
akan berpengaruh merosotnya nilai tukar perdagangan (terms of trade). Negara maju tetap mempertahankan agar negara
berkembang tetap bergantung kepada mereka, hal yang dilakukan dengan:
a.
Memberikan bantuan modal kepada negara berkembang,
batuan modal tersebut diberikan terus-menerus agar memperlihatkan kepedulian
negara maju kepada negara berkembang. Dampak diberikan bantuan ini tentunya
akan mempermudah negara maju mengendalikan negara berkembang.
b.
Adanya doktrin yang ditanamkan negara maju kepada
negara berkembang, mengenai pembangunan. Sehingga pembangunan fisik dilakukan
negara berkembang untuk dapat mensejajarkan diri dengan negara maju. Namun
pembangunan fisik ini tidak dibarengi dengan pembangunan Sumber Daya Manusia,
sehingga pembangunan fisik yang dilakukan tidak mampu diberdayakan dengan baik.
Negara maju juga selalu menekan negara berkembang,
tanpa disadari oleh negara berkembang. Terlihat dari perekruitan yang mereka
lakukan terhadap masyarakat yang berprestasi di negara berkembang, untuk
dibiayai dan dipekerjakan. Hal ini dilakukan agar negara berkembang tidak dapar
menyaingi negara maju. Kondisi ini bisa berubah, asalkan
negara berkembang mampu melepaskan ketergantuangan dari negara maju dan akan
tercapai pembangunan yang dinamis dan otonom. Namun untuk pencapaian ini
membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena untuk melepaskan diri dari ketergantungan
negara maju sangat sulit, mengingat negara berkembang tidak mampu memenuhi
kebutuhan akan produk industri yang dihasilkan negara maju karena tidak mempu
memproduksi sendiri. Atau mungkin dengan cara lain yaitu melakukan isolasi
atau proteksi diri dari negara lain, agar mampu melakukan perubahan ekonomi dan
pembangunan. Seperti yang dilakukan oleh Jepang dan hal itu terbukti berhasil
untuk Jepang. Namun Jepang tidak mudah menjalani itu semua, karena mendapat
tekanan dari negara maju. Karena ketakutan negara maju akan tersaingi oleh
negara berkembang.
Keterbelakangan dunia ketiga adalah ditandai oleh sejumlah ciri-ciri
umum, dan sangat tergantung ekonomi terdistorsi dikhususkan untuk memproduksi
produk-produk utama untuk negara maju dan untuk menyediakan pasar untuk barang
jadi mereka; tradisional, struktur sosial pedesaan; pertumbuhan penduduk yang
tinggi, dan luas kemiskinan. Namun demikian, dunia ketiga adalah tajam
dibedakan, untuk itu termasuk negara pada berbagai tingkat pembangunan ekonomi.
Dan meskipun kemiskinan pedesaan dan kumuh perkotaan, elit yang berkuasa dari
sebagian besar negara dunia ketiga yang kaya. Kombinasi kondisi di Asia,
Afrika, Oceania dan Amerika Latin terkait dengan penyerapan dunia ketiga ke
dalam ekonomi kapitalis internasional, dengan cara penaklukan atau dominasi
tidak langsung. Konsekuensi ekonomi utama dominasi Barat penciptaan, untuk
pertama kalinya dalam sejarah, dari pasar dunia. Dengan setting di seluruh
dunia ketiga sub-ekonomi terkait dengan Barat, dan dengan memperkenalkan
institusi modern lainnya, kapitalisme industri terganggu ekonomi tradisional
dan, memang, masyarakat. gangguan ini menyebabkan keterbelakangan. Karena
ekonomi negara-negara terbelakang telah disesuaikan dengan kebutuhan
negara-negara industri, mereka sering terdiri dari hanya beberapa kegiatan
ekonomi modern, seperti pertambangan atau budidaya tanaman perkebunan. Kontrol
atas kegiatan ini sering tetap di tangan perusahaan asing yang besar. Harga
produk dunia ketiga biasanya ditentukan oleh pembeli besar di negara-negara
ekonomi dominan dari Barat, dan perdagangan dengan Barat menyediakan hampir
seluruh dunia ketiga pendapatan.
Selama masa kolonial, eksploitasi langsung sangat terbatas akumulasi
modal dalam didominasi negara asing. Bahkan setelah dekolonisasi (di tahun
1950, 1960, dan 1970-an, ekonomi dunia ketiga berkembang dengan lambat, atau
tidak sama sekali, karena sebagian besar kerusakan dari "istilah
perdagangan"-hubungan antara biaya barang bangsa harus mengimpor dari luar
negeri dan pendapatan dari ekspor mengirimkan ke negara-negara asing. Syarat
perdagangan mengatakan memburuk ketika biaya impor meningkat lebih cepat dari
pada pendapatan dari ekspor. Sejak pembeli di negara-negara industri menentukan
harga produk yang paling terlibat dalam internasional perdagangan, posisi
memburuknya dunia ketiga tidak mengherankan. Hanya minyak negara (setelah 1973)
berhasil melarikan diri pengaruh Barat, dominasi ekonomi dunia.
2.2
Migrasi dan Konflik
Dampak perkembangan teknologi utamanya
dibidang komunikasi dan transportasi telah membuat dunia menjadi tanpa sekat.
Individu dapat berkomunikasi dan berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain
tanpa banyak terhalang oleh ruang dan waktu. Dengan kata lain, Globalisasi
dengan berbagai eksesnya telah mendorong sebagian orang/kelompok untuk
berpindah/bermigrasi dari satu tempat ketempat yang lain. Ada banyak orang dari
negara dunia ketiga_negara berkembang bermigrasi ke negara maju. Melalui
berbagai cara (Legal maupun Ilegal). Teori Human Capital dan model Harris
Todaro lebih memfokuskan perhatiannya pada hubugan ekonomi dan migrasi. Menurut
teori Human Capital bahwa seseorang akan melakukan migrasi apabila pendapatan
yang diperoleh ditempat tujuan lebih besar daripada pendapatan di daerah asal
yang ditambah dengan biaya langsung migrasi (Simanjuntak, 1985). Todaro (1983)
megatakan bahwa keputusan untuk bermigrasi tidak hanya ditentukan oleh berapa
pendatan yang diterima seandainya melakukan migrasi, tetapi juga memperhitungan
berapa besar peluang untuk mendapatkan pekerjaan, ini erat kaitannya dengan
kesempatan kerja yang terdapat di suatu tempat. Selain perbedaan pendapatan dan
besarnya peluang memperoleh pekerjaan yang memotifasi seseorang untuk melakukan
migrasi, juga ditentukan oleh jarak. Jarak sering menghambat perpindahan
penduduk dari suatu daerah ke daerah lain, karena jarak akan mengambarkan
besarnya biaya perjalanan, baik biaya langsung maupun tidak langsung yang
dikeluarkan sehubungan dengan migrasi.
Sebagai
tenaga kerja, migran mempunyai potensi / mutu tertentu untuk dapat meghasilkan
barang dan jasa sebagai output produksi. Selain faktor -faktor yang telah
disebutkan di atas menurut Lewis (1954) dalam Todaro (1983), terjadinya
perpindahan tenaga kerja dan pertumbuhan lapangan kerja berkaitan erat dengan
perluasan industri, karena sektor ini alan mempengaruhi penawaran dan
permintaan faktor-faktor produksi, khususnya tenaga kerja. int dari
faktor-faktor yang mendorong seseorang bermigrasi ke negara maju adalah
berharap mendapat kehidupan yang layak, berkecukupan, dan dapat diakui/setara
dengan warga negara maju. seseorang yang ingin tinggal, menetap dan menjadi
warga negara asing adalah ketentuannya sebagai berikut:
1. Anak hasil perkawinan sah dari ayah dan ibunya WNI
2. Anak hasil perkawinan sah dari ayah WNI dan Ibu WNA
3. Anak hasil perkawinan sah dari ibu WNI dan ayah WNA
4.
Anak hasil
perkawinan sah dari ibu WNI dan ayah tidak jelas kewarganegaraan
nya (stateless)
nya (stateless)
5. Anak hasil perkawinan tidak sah, ibu WNI dan ayah tidak
jelas
6. Anak hasil perkawinan tidak sah, ibu WNA kemudian ada
lelaki WNI mengakui bahwa anak tersebut adalah anaknya, dengan
catatan anak tersebut belum berusia 18 tahun.
7. Anak hasil perkawinan tidak sah, lahir di lingkungan
Negara Indonesia, tetapi
ibunya tidak jelas keberadaannya.
ibunya tidak jelas keberadaannya.
8. Anak hasil perkawinan tidak sah, dengan ayah ibu tidak
jelas status kewarganegaraannya (stateless)
9.
Anak yang
lahir dari ayah WNI ibu WNI tetapi anak tesebut lahir di negara yang menganut
ius soli. Dimana setiap anak yang lahir di negara itu maka otomatis akan
menjadi warga di negara yang bersangkutan. Kewarganegaraaan ditentukan di mana
dia dilahirkan. Perubahan paradigma terjadi disini, karena kita menganut
kewarganegaraan ganda terbatas (double limited citizenship).
10. Anak yang lahir diluar perkawinan sah ibunya WNA ayah WNA
tetapi mau menjadi WNI. Namun semua proses administrasi diragukan, tinggal satu
tahap, belum disumpah. Orang tuanya meninggal, maka anak tersebut menjadi WNI.
11. Anak yang lahir diluar perkawinan sah, kemudian sebelum 5
tahun diangkat oleh WNA melalui keputusan pengadilan bahwa anak tersebut diadopsi,
maka anak tersebut tetap menjadi WNI sebelum berusia 5 tahun.
12. WNA yang berjasa membawa keharuman nama bangsa dan Negara bisa
menjadi WNI tanpa melalui proses naturalisasi. Misalnya Hendrawan, Lim Swee
King, Ivana Lie dan lain-lain. Naturalisasi artnya tinggal di Indonesia 13 tahun
berturut- turut atau 10 tahun tidak beturut-turut.
13. WNI yang bertempat tinggal di luar negari dan selama 5
tahun berturut-turut tidak melaporkan diri sehingga status WNI tanggal,
kemudian menjadi WNA, boleh menjadi WNI lagi kalau mereka berkeinginan untuk
itu. Waktu yang diberikan untuk
menimbang- nimbang adalah 3 tahun terhitung sejak UU tersebut diundangkan.
42 juta
warga dunia hidup sebagai pengungsi. Menurut statistik yang diluncurkan UNHCR
untuk tahun 2008, hampir dua per tiga di antaranya terpaksa mengungsi di
negaranya sendiri. Sisanya, yaitu sekitar 10,5 juta orang, mencari suaka di
negara lain. Dibandingkan tahun sebelumnya, angka ini memang menyusut satu juta
orang. Tapi, laporan UNHCR hanya fokus pada data tahun 2008. Sejak itu,
sejumlah peristiwa memicu gelombang pengungsi massal, demikian dikatakan
komisaris urusan pengungsi PBB Antonio Guterres. Ia menambahkan, Hari Pengungsi
Sedunia secara khusus menyoroti nasib dan kisah hidup mereka yang terpaksa
melarikan diri. 80 persen dari para pengungsi ditampung di negara berkembang.
Di antara mereka banyak yang tetap tinggal di sana, tanpa peluang untuk kembali
pulang. Hampir enam juta orang sudah hidup lima tahun lebih di pengungsian.
Menurut statistik tahun 2008, pengungsi terbanyak adalah warga Afghanistan,
diikuti oleh warga Irak. 45 persen dari seluruh pengungsi yang ditangani UNHCR
berasal dari kedua negara itu. Sementara negara yang paling banyak menerima
pengungsi adalah Pakistan dengan 1,8 juta orang, Suriah menerima 1,1 juta jiwa,
disusul Iran yang menjadi tuan rumah bagi satu juta pengungsi. Situasi
sangat mengenaskan misalnya dialami warga yang terusir di Kolumbia. Hampir tiga
juta orang di sana terpaksa menjadi pengungsi di negaranya sendiri. Sementara
di kawasan krisis Darfur, dua juta orang terusir dan terpaksa mengungsi. Pada
tahun 2012 sendiri, sekitar 7,6 juta orang menjadi berada dalam
situasi displaced, 1,1 juta
diantara mereka adalah pengungsi
dan 6,5 juta diantaranya adalah pengungsi internal. Hal ini dapat
diterjemahkan menjadi: dalam setiap 4,1
detik, satu orang akan menjadi pengungsi atau pengungsi internal.
Terlihat
pula dalam laporan tersebut, adanya celah besar yang berkelanjutan,
antara jumlah negara kaya dan miskin, yang memberikan suaka bagi pengungsi (hosting country). Separuh dari sejumlah 10,5
juta pengungsi yang berada dibawah mandat UNHCR (terlepas dari 4,9 juta pengungsi Palestina, yang berada dibawah mandat agensi-
saudara kami, UN Relief and Works Agency/ UNRWA), berada di negara – negara pemberi suaka, yang memiliki pendapatan GDP per kapita dibawah US$5,000.
Kesimpulannya, negara berkembanglah
yang menjadi hosting country
atau negara suaka bagi 81% pengungsi di dunia, sebuah
peningkatan dari 70% sepuluh
tahun yang lalu. Empat puluh enam
persen dari jumlah seluruh pengungsi
tergolong sebagai anak – anak
berusia dibawah 18 tahun. Selain
itu, sebanyak 21,300 permohonan
permintaan suaka yang tercatat selama tahun 2012, diajukan oleh anak –
anak tanpa pendampingan atau yang terpisah dari orang tua mereka (unaccompanied minor). Ini adalah angka anak – anak tanpa pendampingan, atau yang terpisah dari orang tua tertinggi yang pernah dicatat UNHCR.
Miall
et. al. (2000) mengklasifikasikan penyebab konflik berdasarkan tingkat
terjadinya. Di tingkat global terdapat dua penyebab utama terjadinya konflik,
yaitu berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan pergolakan di Afrika,
negara Balkan, dan wilayah lain bekas Uni Soviet; dan lebih sistemik yakni
ketimpangan secara sosial dan ekonomi secara global, konsumsi energi
besar-besaran hasil alam negara berkembang oleh negara maju namun populasi
tumbuh pesat di negara berkembang sehingga mempersulit perbaikan kualitas
manusia melalui pertumbuhan ekonomi, dan militerisasi hubungan keamanan
termasuk proliferasi senjata yang mematikan. Di tingkat regional umumnya
disebabkan pola kewilayahan yang secara sosial dan demografis saling
berbatasan. Diawali instabilitas politik suatu negara akibat konflik internal
yang berakibat eksternal seperti penyebaran senjata, kejatuhan ekonomi
regional, migrasi ke negara tetangga yang lebih aman dan serumpun. Ditingkat
negara, konflik diklasifikan lagi dalam 3 bidang, yaitu sosial, seperti
perpecahan budaya dan dominasi etnis tertentu; bidang ekonomi, akibat kurangnya
sumber daya dan kemiskinan; dan politik, karena adanya pemerintah partisan
maupun rezim yang tidak sah. Kemudian pada level kelompok partai konflik
terjadi akibat gesekan kepentingan antarkelompok yang ada. Dan pada level
individu/elit dipicu oleh kebijakan pengecualian, kepentingan golongan, dan
ketamakan pemimpinnya (Miall, et. al, 2000:78-90). Pada intinya konflik dipicu
oleh tiga faktor utama, pemimpin yang tidak bertanggung jawab diperkuat oleh
persaingan elit politik, permasalahan kelompok sejak masa sebelumnya, dan
permasalahan ekonomi (Miall, et. al, 2000:91). Konflik etnis yang disebabkan
tidak maunya pemerintah Burma mengakui orang-orang Rohingya sebagai warga
negara, jelas ini adalah tindakan yang diskriminatif dan bertentangan dengan
prinsip pluralisme, sekalipun memang benar kenyataan bahwa Etnis Rohingya baru
ada tahun 1950?an tidak lantas membuat mereka dipinggirkan, apalagi kalau
keturunan mereka sudah beberapa generasi.Yang menjadi pertanyaan, kenapa
Burma dan Bangladesh tidak mau menerima etnis Rohingya? Seharusnya pihak
Rohingya juga introspeksi diri kenapa ada 2 negara yang tidak mau mengakui
mereka.
Adaptasi
antar etnik sangat penting dalam masyarakat, karena untuk memahami kebudayaan
orang lain dan memperkenalkan kebudayaan sendiri pada orang yang memiliki
kebudayaan yang berbeda, merupakan hal yang tidak mudah, untuk itu diperlukan
suatu penyesuaian agar dapat menerima kekurangan dan kelebihan dari kebudayaan
etnik lain. Adaptasi sosial budaya antar etnik bertujuan untuk
mencegah timbulnya, disentegrasi, konflik sosial, diskriminasi, prasangka, kecemburuan
sosial dan masalah-masalah sosial lainnya dalam masyarakat sehingga tidak
terjadi kesenjangan antar etnik, sekaligus keanekaragaman dapat dijadikan
sebagai kelebihan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Diaspora
merupakan istilah yang digunakan para ahli untuk menyebutkan sebuah fenomena
dimana rakyat dari negara tertentu atau etnis tertentu melakukan imigrasi
besar-besaran dan menyebar keseluruh dunia. Setiap tahun di Indonesia, sering
kita jumpai berita adanya imigran gelap yang tertangkap, asal mereka dari
daerah-daerah konflik seperti libanon
atau palestina. Mereka ini tidak termasuk fenomena diaspora. Yang mengagumkan
dari fenomena diaspora adalah bahwa para imigran yang tersebar bukan lah imigran
sembarangan. Melainkan orang-orang yang ber’otak’. Karena itu fenomena ini disebut juga ‘brain
drain’. Mereka pergi dari wilayah asalnya karena terpaksa, mungkin karena
desakan ekonomi, konflik, dll. Akan tetapi di negara tumpangannya, mereka bukan
hanya sekedar lontang-lantung tanpa tujuan. Mereka memiliki visi jauh kedepan
serta memiliki nasionalisme yang luar biasa. Di negara yang mereka tumpangi,
para imigran ini nantinya membangun kehidupan baru, kemudian membentuk sebuah
jaringan masyarakat ras mereka sendiri. Jaringan-jaringan ini kemudian menjadi
kuat dan tentu saja mempengaruhi
kebijakan pemerintahan negara yang ditumpanginya.
Contoh
fenomena diaspora adalah Yahudi yang mana akhir-akhir ini sering menjadi sorotan
karena tindakan negara yahudi; Israel, yang menggempur palestina. Amerika,
meskipun mengecam tindakan Israel, dalam beberapa kasus jelas-jelas membantu
usaha Israel mendirikan negara diatas tanah palestina. Sebelum berspekulasi
lebih jauh, lihatlah dulu kesuksesan diaspora yang dilakukan yahudi. Saya
pribadi melihat sejarah yahudi hanya sampai kemurtadtannya pada ajaran musa.
Mereka hidup di suatu wilayah ketika musa menyelamatkan mereka dari kekejaman
Firaun di mesir. Sepeninggalan musa tak
ada catatan berarti, yang jelas keturunan yahudi menyebar ke berbagai penjuru
dunia. Baru pada 1948 muncul Israel sebagai negara yahudi. Pendirian Israel,
diprakarsai oleh sebuah organisasi persaudaraan Yahudi yang dinamakan Zionis.
Zionis merupakan hasil nyata dari fenomena diaspora yahudi, menurut saya. Di
Amerika misalnya, para jewish atau
imigran atau keturunan yahudi ini memulai kehidupannya selama bertahun-tahun,
kemudian menyusun suatu jaringan kekuatan politik, yang tentunya mampu
mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh
pemerintah Amerika. Di parlemen AS
sendiri, jumlah dewan yang berdarah yahudi sama banyaknya dengan jumlah dewan
non yahudi. Dengan nasionalisme yahudi mereka yang tinggi,, maka jika suatu
ketika Amerika melakukan suatu kebijakan yang pro-israel, bisa disimpulkan ada
otak-otak jaringan politik yahudi dibelakangnya.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment