GLOBALISASI DAN DAMPAKNYA TERHADAP SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
DAN LINGKUNGAN HIDUP
Untuk memenuhi
tugas kelompok
Matakuliah
Prespektif Global
Disusun oleh:
Miftahul Arifin 130611100099
Qhoziah Alfiyatun 130611100102
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2015
1.1 Rumusan Masalah
a.
Bagaimana
energi menjadi poin penting bagi masyarakat global?
b.
Bagaimana
konflik mengenai air yang terjadi di tengah masyarakat global?
c.
Bagaimana
masalah global berkaitan dengan lahan dan keanekaragaman hayati?
d.
Bagaimana
peran dan usaha globalisasi dalam memperbaiki lingkungan hidup?
1.2 Tujuan
a.
Untuk
mengetahui bagaimana energi menjadi poin penting bagi masyarakat global.
b.
Untuk
mengetahui bagaimana konflik mengenai air yang terjadi di tengah masyarakat
global.
c.
Untuk mengetahui
berbagai masalah global beserta dampaknya berkaitan dengan lahan dan
keanekaragaman hayati.
d.
Untuk
mengetahui peran dan usaha para aktor globalisasi dalam memperbaiki lingkungan
hidup?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Energi
Energi merupakan salah satu
tulang punggung utama jalannya peradaban. Kami
sepakat bahwa manusia
memang membutuhkan banyak sekali energi untuk melakukan berbagai aktivitas.
Contohya, untuk dapat hidup di wilayah yang dingin dibutuhkan energi untuk
pemanasan, untuk penerangan di malam hari. Dibutuhkan banyak energi untuk
melakukan berbagai kegiatan secara aktif, mulai dari transportasi seperti
mobil, sepeda motor, kapal, pesawat. Dalam bidang iptek seperti laptop,
handphone, gadget, mesin, robot. Dalam bidang informasi seperti manusia membutuhkan
radio, tv. Dalam kebutuhan rumah tangga misalnya seperti kulkas, magic kom,
kipas angin, pemompa air. Dan masih banyak lagi contohnya bahwa energi
dibutuhkan oleh manusia dalam jumlah besar. Hal ini terlihat sangat jelas pada
revolusi industri yang muncul di Inggris sejak paro kedua abad 18. Akibat
revolusi industri ini terjadi perubahan drastis dari masyarakat yang sebelumnya
berpusat pada pertanian menjadi masyarakat yang berpusat pada industri, yang
berakibat pada perubahan nilai-nilai masyarakat. Agar revolusi industri dapat
terjadi maka diperlukan energi dalam jumlah besar, dan untuk memecahkan masalah
ini kemudian dikembangkan mesin uap oleh James Watt dkk, dan bahan bakar yang
digunakan adalah batubara. Dapat dikatakan bahwa tanpa pasokan energi dalam
jumlah besar, revolusi industri tidak akan pernah terjadi.
Kemajuan suatu bangsa
membutuhkan dukungan ketersediaan energi. Sebagai contoh, pada tahun 2006,
negara maju seperti Amerika mengkonsumsi 21,4% energi dunia, sedangkan Cina
yang dianggap sebagai kekuatan industri baru mengkonsumsi 15,6% energi dunia
[BP, 2008]. Peningkatan kebutuhan energi disatu sisi serta ketidak stabilan
harga dan pasokan energi konvensional disisi lain, memunculkan isu keamanan
energi (energy security) di berbagai negara di dunia. Bertambahnya jumlah
penduduk, kemajuan teknologi, dan peningkatan perekonomian menyebabkan
peningkatan konsumsi energi dunia. International Energy Agency (IEA, 2007)
melaporkan peningkatan konsumsi energi dunia hampir dua kali lipat dari 6.128 Mtoe
pada tahun 1973 hingga 11.435 Mtoe pada tahun 2005. Konsumsi
bahan bakar fosil yang besar semakin meningkat drastis setelah revolusi
industri. Memang bahan bakar fosil selalu memberikan kepraktisan dan kenyamanan
dalam kehidupan manusia, namun juga menyebabkan peningkatan populasi manusia
secara drastis. Sehingga menyebabkan terjadinya kekurangan pangan dan konsumsi
energi dalam jumlah besar. Seperti yang ditunjukkan diagram di bawah ini,
Hampir semua energi yang dikonsumsi adalah
bahan bakar fosil berupa batubara, minyak dan gas alam, selebihnya adalah
energi nuklir atau tenaga air. Sebagai akibat dari konsumsi energi yang besar
ini (khususnya bahan bakar fosil), negara-negara industri maju mengalami
pertumbuhan ekonomi yang besar, masyarakat menjalani kehidupan dengan makmur.
Selanjutnya diperkirakan populasi akan meningkat dengan pesat, negara-negara
berkembang mengejar pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Negara-negara yang memiliki sumber energi
fosil seperti minyak, gas, dan batubara pada akhirnya menjadi tempat
berkumpulnya kepentingan berbagai negara di dunia. Hal itu dinilai wajar
mengingat suatau negara wajib menjamin keselamatan warga dan mengamankan
ketersediaan energi yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup bangsanya, baik
itu yang berasal dari eksploitasi dalam negeri atau melalui kerja sama
dengan luar negeri. Gatot (dalam Fauzi, 2015) mencatat pada tahun 2011 British
Petroleum (BP) mengeluarkan sebuah laporan yang menyatakan bahwa sisa energi
fosil dunia tinggal 45 tahun lagi, sementara sisa energi fosil di Indonesia
usianya hanya tinggal 11,8 tahun. Berdasar pada temuan data tersebut, energi
dunia diperkirakan bakal habis pada tahun 2056 dan Indonesia pada tahun 2023,
dengan asumsi kebutuhan energi dunia tidak mengalami peningkatan. Gatot
mengatakan saat ini banyak pakar dan akademisi di seluruh dunia berusaha
menciptakan energi baru pengganti energi fosil. Salah satu energi baru yang
diciptakan adalah energi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, atau lebih dikenal
dengan sebutan energi hayati. Meski demikian, kecenderungan peningkatan
penggunaan bio energi itu terlihat pada kurun 2007-2008 yang memicu krisis
harga pangan dunia yang meningkat tajam hingga 75 persen. Antara lain
disebabkan karena pengalihan harga pangan menjadi bio energi atau energi
hayati. Gatot menganggap kelangkaan pangan telah menimbulkan dampak mengerikan
bagi dunia. Hal itu senada dengan data UNICEF yang mencatat adanya satu anak
meninggal dunia setiap 2,1 detik atau hampir 15 juta anak setiap tahun karena
kemiskinan, kelaparan, dan kesehatan yang buruk. "Satu-satunya harapan
yang tersisa adalah pemanfaatan energi hayati sebagai penggerak kegiatan
peradaban manusia. Pertanyaannya, bagaimana kondisi NKRI para masa itu?"
ujar Gatot (dalam Fauzi, 2015). Gatot menilai pesatnya pertumbuhan jumlah
penduduk yang tidak diimbangi ketersediaan pangan, air bersih, dan energi
rentan memicu konflik baru, baik intra maupun antarbangsa akibat perebutan
sumber energi hayati.
Maka dari itu yang harus kita lakukan mulai dari
sekarang adalah berhemat! Kita harus berhemat dalam menggunakan energi fosil,
karena ketersediaannya sangat terbatas dan sekarang energi yang tidak
terbarukan tersebut makn lama semakin habis. Langkah kedua untuk mengatasi
masalah tersebut, diperlukan inovasi energi alternatif dari energi-energi
terbarukan (seperti air, angin, matahari, tumbuhan, dll.) untuk menggantikan peran
energi fosil yang tdak terbarukan. Kesadaran mengenai pentingnya
mencari sumber alternatif bahan bakar
minyak terus berkembang. Selain berupaya untuk mengatasi keterbatasan energi fosil
yang kian hari kian habis, masyarakat global juga berharap dengan adanya energi
alternatif dapat menurunkan efek gas rumah kaca akibat tebaran gas CO2
ke udara yang mencemari lingkungan. Sebagai contoh masyarakat mulai mencari dan menggunakan energi
alternatif seperti di Indonesia dibentuk PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Angin)
dengan menggunakan turbin. Dengan energi matahari masyarakat global membentuk sel surya. Sel surya memproduksi listrik
dari sinar matahari dan relatif tidak menimbulkan polusi. Selain itu masyarakat global mulai membuat
dan menggunakan energi alternatif dari air, air laut, dari tenaga hidrogen, dari
panas bumi, biomassa, biodesel, gas metana, dan lain-lain.
2.2 Air
Air merupakan salah satu kebutuhan yang
sangat esensial bagi manusia. Sumberdaya air dimanfaatkan manusia untuk
berbagai sektor dan kebutuhan, mulai dari kebutuhan rumah tangga, industri,
transportasi, pembangkit energi, kebutuhan kesehatan dan lain sebagainya.
Melihat nilai strategis dari sumberdaya air, maka sistem manajemen sumberdaya
air menjadi sangat penting artinya. Berbagai kebijakan dalam manajemen
sumberdaya air perlu dilakukan untuk menanggulangi krisis air yang
berkelanjutan. Diberbagai tempat di belahan muka bumi, pada saat ini terjadi
kekurangan sumberdaya air, yang mengakibatkan hilangnya kehidupan dan
sumber-sumber kehidupan. Laporan Unesco Tahun 2003 dalam bukunya Water for
people-water for life, menyatakan bahwa terkait dengan permasalahan manajemen
sumberdaya air terdapat sekitar 25.000 orang meninggal dunia per hari akibat
malnutrisi dan 6000 orang lainnya, yang kebanyakan anak-anak dibawah umur 5
tahun, meninggal akibat penyakit berkaitan dengan air (water-related
diseases).
Pada era globalisasi
sekarang ini, dunia tidak lagi mengenal batas-batas wilayah antar negara,
manusia yang hidup di dunia nampaknya tidak mampu memenuhi serta mengelola
kebutuhan hidup mereka tanpa dukungan sumber daya alam. Sumber daya alam yang dimiliki oleh setiap
negara di dunia tidaklah sama, baik jumlah maupun jenisnya. Kadang-kadang suatu
negara sangat melimpah akan ketersediaan sumber daya alam untuk mendukung
kehidupan mereka, tetapi begitu sebaliknya ada negara yang sangat miskin sumber
daya alam. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan kemungkinan terjadinya
konflik di suatu wilayah atau antar negara untuk memperebutkan sumber daya alam
dalam rangka mendukung kelangsungan hidup manusia di dunia.
Sumber daya alam yang kini menjadi masalah
global selain minyak bumi adalah ketersediaan air bersih untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia di dunia, baik kebutuhan air bersih untuk konsumsi
manusia (kesehatan), pertanian maupun untuk kebutuhan industri. Akibat dari
semakin langkanya sumber daya air bersih, ini bisa menimbulkan konflik yang
bekepanjangan yang melibatkan lebih dari satu negara. Kelangkaan akan sumber
air bersih dapat dipahami sebagai kurangnya ketersediaan air bersih yang aman
dalam jangka panjang, memenuhi kualitas kesehatan untuk konsumsi manusia dan
untuk berbagai keperluan industri, telah mencapai bagian yang bisa menimbulkan
konflik antar negara di dunia.
Laut Kaspia merupakan
kawasan di sekitar negara-negara kawasan Asia Tengah yang memiliki sumber daya
alam minyak dan gas alam yang tinggi di dalamnya. Selain karena kepemilikan sumber daya alam minyak yang
besar di Laut Kaspia, kawasan tersebut menjadi penting karena pertama Laut
Kaspia merupakan jalur hubungan komunikasi antara benua Eropa dan Asia yang
lebih dikenal sebagai Eurasian Pearl. Dapat menyediakan kesempatan
transportasi barang maupun penumpang antara negara-negara kawasan tersebut,
serta menjadi kawasan strategis sebagai rute transit yang besar bagi Eropa,
Arab Saudi, Asia Timur serta wilayah selatan Laut Kaspia. Kedua, Laut Kaspia
memiliki reputasi yang sangat baik dalam aspek perikanan dan menyediakan banyak
kesempatan kerja bidang tersebut. Maka kemudian, banyak negara yang memiliki
berbagai kepentingan demi menguasai kawasan tersebut, negara besar yang
menginginkan kawasan tersebut sebagai contohnya ialah Amerika Serikat dan
Rusia. Amerika Serikat dalam hal ini memiliki kepentingan minyak yang besar
terhadap negara-negara kawasan Asia Tengah dikarenakan adanya dorongan
kebutuhan konsumsi Amerika Serikat akan minyak yang semakin meningkat. Dorongan
tersebut kemudian dijawab oleh negara-negara kawasan Asia Tengah yang memiliki
cadangan sumber daya alam minyak dengan kualitas bagus, karena itulah kemudian
Amerika Serikat berusaha untuk dapat mengadakan berbagai kerja sama dengan negara
kawasan Asia Tengah. kemudian, Rusia juga memiliki kepentingan akan sumber daya
alam minyak di kawasan Asia Tengah. Kepentingan tersebut juga didorong oleh
kepentingan Rusia untuk mensukseskan kebijakan Grand Russia Project
yang berkeinginan untuk menyatukan kembali pecahan negara-negara bekas Uni
Soviet menjadi satu kembali di bawah naungan Rusia. Rusia juga mengklaim bahwa
Laut Kaspia merupakan kawasan inland lake dan bukan merupakan closed
sea, yang berarti bahwa kawasan tersebut bukan merupakan subjek hukum dari
Law of The Sea. Dan sebagai konsekuensinya, maka eksploitasi yang
dilakukan di kawasan tersebut harus melalui kesepakatan kelima negara yang
berada di sekitarnya. Hal ini sebagai bentuk pembendungan agar Amerika Serikat
tidak dengan serta merta dapat mengeksploitasi sumber daya alam di kawasan
tersebut. Dengan demikian, Rusia juga selalu berusaha untuk menghindarkan
kawasan-kawasan Asia Tengah (terutama di sekitar Laut Kaspia) dari sphere
of influence Amerika Serikat, karena Rusia khawatir jika kawasan tersebut
tidak dibendung secara cepat, maka kemudian Amerika Serikat akan memiliki
kekuatan dan aset besar yang dapat mengancam keamanan Rusia sendiri. Dalam
rangka penguasaan sumber daya alam minyak di kawasan tersebut pun, Rusia juga
mengadakan berbagai kerja sama dengan negara-negara kawasan Asia Tengah salah
satunya ialah diadakannya kesepakatan antara Rusia, Kazakhstan dan Turkmenistan
untuk membangun jalur pipa gas utama baru pada bulan Mei 2007 dengan jalur
memutari Laut Kaspia mulai dari Turkmenistan kemudian melalui Kazakhstan yang
pada akhirnya sampai di Rusia.
Isu kepentingan minyak di kawasan Laut Kaspia
tersebut kemudian memunculkan masalah baru. Ketika banyak negara besar yang
melakukan pengeksploitasian dengan terlalu besar pada kawasan tersebut, telah
mengakibatkan berbagai pencemaran air dan menurunkan kualitas perikanan di
kawasan tersebut. Atas terjadinya kerusakan tersebut, kemudian muncul kerangka
kerja sama berkenaan dengan isu kelingkungan di Laut Kaspia. Isu ini kemudian direalisasikan
oleh PBB dengan menciptakan program CEP (Caspian Environmental Program)
yang memiliki agenda menjaga kualitas kelingkungan kawasan tersebut dan
berusaha untuk mengontrol pengeksploitasian yang selama ini telah dilakukan
oleh berbagai negara-negara besar.
Meningkatnya kebutuhan akan air bersih yang semakin
langka, disertai dengan kenyataan bahwa sebagian besar sumber air bersih yang
ada di negara-negara berkembang bersumber pada sungai-sungai besar yang
melewati atau berada pada lebih dari satu negara. Seperti di Afrika ada sungai
Nil yang melewati dua negara yaitu Sudan dan Mesir, hal ini sering menimbulkan
konflik dalam pengelolaan sumber daya air antar kedua negara. Di Asia ada
Sungai Mekong yang berada di tiga negara yaitu China, Kamboja serta Vietnam,
yang setiap saat bisa timbul konflik. Di anak Benua Asia yaitu India ada Sungai
Hindus, Brahmaputra, yang berada pada tiga negara yaitu India, Pakistan,
Bangladesh. Situasi seperti diatas nampaknya akan memperkuat kemungkinan untuk
terjadinya konflik internasional masalah ketersediaan sumber air bersih. Hal
semacam ini juga terjadi di Timur Tengah, Asia Tengah, Eropa serta Amerika
Latin, perebutan sumber daya air bersih bisa menyebabkan konflik yang
berkepanjangan.
Menurut Bank Dunia, dalam tahun 1995 ada 29
negara-negara di dunia dengan jumlah penduduk sekitar 436 juta terancam
kekurangan atau mengalami kelangkaan air bersih. Laporan Perserikatan
Bangsa-Bangsa saat ini, diperkirakan 884 juta penduduk di seluruh dunia tidak
memiliki akses terhadap air bersih, 2,5 milyar penduduk tidak mempunyai kondisi
kesehatan yang baik akibat kelangkaan sumber air. Yang mengejutkan sekitar 18
juta penduduk yang sebagian besar anak-anak, setiap tahun menderita penyakit
yang disebabkan oleh mengkonsumsi air bersih yang tidak memenuhi standar
kesehatan dunia.
Kondisi yang tidak seimbang antara laju perkembangan
jumlah penduduk dengan ketersediaan air tawar di negara-negara berkembang sudah
sampai pada taraf membahayakan kesehatan. Seperti di Brazil dengan sungai Amazone
ketersediaan sumber air tawar cukup melimpah dibandingkan dengan jumlah
penduduk. Keadaan sebaliknya terjadi pada Benua Asia yang merupakan benua
paling padat jumlah penduduknya , telah terjadi krisis air bersih yang melanda
beberapa kawasan. Begitu pula daerah Afrika yang terkenal dengan benua gersang,
sejak dulu telah terjadi krisis air bersih melanda kebanyakan wilayah,
khususnya negara-negara yang terletak di Sub Sahara. Adanya pernyataan para
ahli, bahwa air tawar kemungkinkan dapat dijadikan bahan bakar pengganti minyak
bumi pada masa mendatang menambah potensi konflik akan usaha untuk menguasai
sumber daya air tawar di dunia.
Ada
beberapa faktor penyebab yang dapat menimbulkan konflik mengenai sumber daya
air tawar di suatu wilayah atau antar negara yaitu geografis, ekonomi, politik,
sosial budaya, dan keamanan nasional negara tersebut. Faktor-faktor tesebut
sangat erat kaitannya antara kelangkaan sumberdaya air dengan konflik yang
terjadi. Adanya sumber daya air tawar seperti danau yang terletak di perbatasan
antar negara, juga beberapa sungai besar dunia melewati beberapa negara, hal
tersebut menjadi penghubung bagi negara-negara yang dilaluinya, baik hubungan
dalam ekonomi, pertanian, industri, politik, serta lingkungan. Hal paling yang
penting dalam hubungan tersebut adalah ketergantungan mengenai pengelolaan
keamanan yang kompleks tentang akses ke sumber daya air , sehingga tidak ada
pilihan lain kecuali harus bekerjasama dalam menjaga keamanan sumber daya air
tersebut. Contoh seperti Mesir dan Sudan melakukan kerjasama dalam menjaga
keamanan serta pemanfaatan air dari Sungai Nil. Kerjasama tersebut akan terus
tumbuh seiring dengan kebutuhan manusia akan air bersih meningkat di semua
negara di dunia.
Pencemaran air atau laut yang paling besar
pernah terjadi pada teluk Minamata (Jepang) yang sangat banyak memakan korban.
Pencemaran tersebut terjadi karena adanya logam berat merkuri yang mencemari
lingkungan yang berasal dari PT Chisso yang memproduksi berbagai jenis produk
dari pewarna kuku sampai peledak. Dengan dukungan militer, industri ini merajai
industri kimia, dan dengan leluasa membuang limbahnya ke teluk Minamata. Diperkirakan
200-600 ton Hg dibuang selama tahun 1932-1968. Selain merkuri limbah PT Chisso
juga berupa mangan. Thalium, dan Selenium., sehingga menyebabkan masalah yang
sangat serius, terutama bagi masyarakat sekitar teluk tersebut. Penyakit yang
ditimbulkan oleh pencemaran oleh teluk Minamata ini dikenal dengan nama
penyakit Minamata. Penyakit minamata pertama ditemukan di Kumamoto tahun 1956,
dan tahun 1968 Jepang menyatakan penyakit ini disebabkan pencemaran pabrik
Chisso Co. Ltd. Penyakit Minamata terjadi akibat banyak mengkonsumsi ikan dan
kerang dari Teluk Minamata yang tercemar Methyl-Hg atau disebut metil merkuri (methylmercury).
Metil merkuri yang masuk tubuh manusia akan menyerang sistem saraf pusat,
akibatnya terjadi degenerasi sel-sel syaraf pada otak kecil, sarung selaput
syaraf dan bagian otak yang mengatur penglihatan. Douglas McAlpine, seorang
neurolog asal Inggris, mengunjungi Minamata selama dua hari pada tanggal 13 dan
14Maret 1958. Saat itu, ia sedang melakukan penelitian tentang sklerosis multipel
pada departemen neuropsikiatri di Universitas Kumamoto. Di Minamata, ia
memeriksa 15 orang penderita penyakit Minamata dan memberikan pendapat yang
sangat bernilai. Menurutnya, gejala-gejala seperti penyempitan rentangan
pandang, penurunan fungsi pendengaran dan ataksia sangat mirip dengan
gejala-gejala akibat keracunan merkuri di Inggris yang dilaporkan oleh Hunter
dan Russel. Tim Survei Penyakit Minamata/Keracunan Makanan dari Kementerian
Kesehatan dan Kesejahteraan ya sebagai tim penelitian di bawahg dibentuk
sebagai Kementerian Kesehatan Masyarakat, semua anggotanya berasal dari
Kelompok Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Kumamoto. Sebagai hasil
survey tersebut, terungkap. Kadar merkuri yang sangat tinggi dideteksi pada
tubuh ikan, kerang-kerangan, dan lumpur dari Teluk Minamata yang dikumpulkan
pada saat terjadinya penjangkitan Penyakit Minamata. Secara geografi, merkuri
ditemukan dalam konsentrasi tertingginya di sekitar mulut kanal pembuangan
pabrik Chisso dan kadarnya menurun pada jarak yang jarak semakin jauh ke laut
lepas. Data tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa merkuri berasal dari kanal
pembuangan pabrik dalam lumpur (masyarakat menyebutnya dobe) sekitar
mulut saluran pembuangan di Hyakken, dua kilogram merkuri per ton, seakan tempat
tersebut merupakan tambang merkuri.
Kini, masyarakat Minamata sangat menghargai
apa yang terjadi di waktu silam dan mengambil pelajaran dari kasus limbah
merkuri tersebut. Mereka lebih peduli akan lingkungan dan berjibaku bersama
menjaga lingkungan sekitar. Seperti menjaga kebersihan dan pengelolaan sampah
kota dengan manajemen yang baik, yaitu pemilahan sampah dan memanfaatkannya
lebih lanjut seperti pengomposan.
2.3 Lahan
Lebih dari satu juta hektar hutan yang
sebagian besar merupakan hutan tropis hancur setiap bulannya di dunia – setara
dengan area hutan seluas satu lapangan sepak bola hancur setiap dua detik.
Selain menyokong keanekaragaman hayati dan masyarakat yang bergantung pada
hutan, hutan dan tanahnya menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar –
hampir tiga ratus milyar ton karbon atau sekitar 40 kali jumlah emisi yang
dilepaskan ke atmosfir. Penghancuran dan degradasi hutan berpengaruh besar
terhadap
perubahan iklim dalam dua hal. Pertama, perambahan dan pembakaran hutan melepaskan karbon dioksida ke atmosfir. Kedua, kerusakan hutan akan mengurangi area hutan yang menyerap karbon dioksida. Kedua peran ini sangat penting karena jika kita menghancurkan hutan tropis yang tersisa, maka kita telah kalah dalam pertarungan menghadapi perubahan iklim.
perubahan iklim dalam dua hal. Pertama, perambahan dan pembakaran hutan melepaskan karbon dioksida ke atmosfir. Kedua, kerusakan hutan akan mengurangi area hutan yang menyerap karbon dioksida. Kedua peran ini sangat penting karena jika kita menghancurkan hutan tropis yang tersisa, maka kita telah kalah dalam pertarungan menghadapi perubahan iklim.
Tahun 1995, Indonesia masih berada di urutan
kedua setelah Brasil dalam penguasaan hutan tropis, dengan luas hutan mencapai
100 juta hektar atau sekitar 10 persen dari hutan tropis yang tersisa di dunia
saat itu. Namun, berdasarkan data beberapa tahun terakhir, Indonesia sudah
tergeser ke urutan ketiga, setelah Brasil dan Zaire. Dewasa ini, lebih dari 70
persen hutan perawan di Indonesia sudah lenyap; dijarah, ditebang, dibakar,
digunduli, menjadi tipis, atau dialihfungsikan. Setiap tahun, ada tambahan
sekitar 3,8 juta hektar hutan rusak. Luas hutan yang rusak sekarang ini empat
kali lipat lebih dibandingkan dengan tahun 1970-an. Dengan skala dan laju
kerusakan hutan (deforestasi) seperti sekarang ini, hutan tropis di seluruh
Sumatera diperkirakan punah pada tahun 2005 dan di Kalimantan tahun 2010.
Penyusutan secara dramatis hutan alam itu akibat pengelolaan hutan yang
mengabaikan prinsip kelestarian, termasuk eksploitasi secara berlebihan,
penebangan liar, dan alih fungsi lahan yang sulit dibendung.
Praktik penebangan liar terus marak dan
semakin menjadi-jadi dari tahun ke tahun. Hal itu antara lain karena tidak
adanya komitmen dari berbagai pihak terkait untuk memberantas praktik tersebut.
Yang terjadi, oknum aparat seperti militer dan pihak berwenang lain, yang
seharusnya bertindak, justru memfasilitasi dan berada di belakang para pelaku
penebangan liar. Penebangan liar dan penyelundupan kayu secara ilegal yang
semakin menjadi-jadi itu juga dipicu oleh meningkatnya kebutuhan kayu bulat
sebagai bahan baku industri pengolahan kayu dan mebel di dalam negeri dan
meningkatnya permintaan dari negara lain, seperti China dan India. Langkah
membatasi volume penebangan yang tidak dibarengi dengan upaya rasionalisasi
terhadap industri pengolahan kayu juga membawa bumerang tersendiri.
Penyebab lain deforestasi dan degradasi hutan
adalah kegiatan konversi lahan hutan ke usaha non-kehutanan yang menurut Bank
Dunia menyumbang 67 persen dari penyebab deforestasi. Konversi hutan ini antara
lain dilakukan untuk hutan tanaman industri (HTI), perkebunan, pertambangan,
pertanian, transmigrasi, dan sebagainya. Luas areal perkebunan (baik perkebunan
besar maupun perkebunan rakyat) terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pertumbuhan luas paling spektakuler terjadi pada perkebunan kelapa sawit, yakni
rata-rata 14 persen per tahun. Tidak jarang, pengembangan kebun kelapa sawit
menjadi kedok untuk mencuri kayu. Tidak adanya tindakan tegas terhadap praktik
serupa di masa lalu membuat praktik seperti ini kembali muncul akhir-akhir ini.
Sejumlah sindikat pencuri kayu, yang berdalih sebagai investor perkebunan sawit
dari Malaysia, membuka lahan dan hutan dengan berkedok untuk dikembangkan
menjadi kebun kelapa sawit. Akan tetapi, setelah hutan disapu habis, mereka
kabur karena yang mereka incar sebenarnya memang hanya kayu hasil tebangannya.
Pembangunan HTI dan perkebunan juga sering tumpang tindih dengan kawasan
konservasi hutan. Selain itu, penyebab lain deforestasi adalah perambahan
kawasan hutan oleh masyarakat. Menurut Transtoto, dewasa ini terdapat 10 juta
lebih peladang berpindah atau pemukim yang menetap di dalam kawasan hutan
negara. Kemudian, faktor pemicu deforestasi berikutnya adalah kebakaran hutan
(baik disengaja maupun tidak) yang masih sulit dikendalikan dan memusnahkan jutaan
hektar hutan alam serta hutan tanaman dalam beberapa tahun terakhir. Juga ikut
menyumbang kerusakan hutan adalah perubahan politik penyelenggaraan negara,
seperti pelaksanaan otonomi daerah yang tidak dipersiapkan secara memadai dan
matang sehingga menyebabkan hutan menjadi sasaran sumber pendapatan daerah dan
sasaran penjarahan yang sulit dihentikan. Sejak
tahun 1990, seperempat hutan Indonesia telah hilang – 31 juta hektar, hampir
seluas negara Jerman. Hampir 40 % dari deforestasi bruto antara tahun 2011 dan
2013 terjadi di wilayah konsesi kelapa sawit atau bubur kertas yang bisa di
identifikasi. Orangutan di Indonesia telah kehilangan 4% hutan habitatnya hanya
dalam waktu 2 tahun (2011-2013), hampir setengahnya di Kalimantan Barat.
Sekitar 20% dari titik api yang terdeteksi selama tahun 2015 (sampai 26
Oktober) berada dalam konsesi perkebunan kayu untuk bubur kertas dan 16%
lainnya dalam konsesi kelapa sawit. Kerusakan hutan Indonesia akibat kegiatan illegal logging maupun illegal
mining semakin luas. Sampai saat ini, dari 130,68 juta hektar hutan nasional,
41 juta hektar hutan menjadi gundul. Akibat dari illlegal logging alias
pembalakan liar saja negara ditaksir mengalami kerugian triliunan rupiah.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam Kementerian Kehutanan Darori kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta,
kemarin. “Di delapan provinsi saja sejak
2004-2012 terjadi 2.494 kasus pembalakan liar untuk lahan perkebunan dan
pertambangan ilegal. Akibat illegal logging saja negara berpotensi
merugi Rp 276,4 triliun,” katanya. Dikatakan, tren kasus illegal logging
mengalami penurunan yang signifikan setiap tahunnya. Bila pada tahun lalu 2.000
kasus, tahun ini 100 kasus. Hal tersebut juga berimbas pada kerusakan hutan
pada tahun 1998-2002 seluas 3,5 juta ha per tahun mengalami penurunan di
tahun 2010-2011 menjadi 320 ribu ha per tahun.
Pembalakan hutan yang terjadi di Indonesia
sudah sangat memprihatinkan. Masyarakat, petugas, dan pengusaha sedikit sekali
yang peduli terhadap dampak kegundulan hutan Indonesia. Padahal,
illegal logging merupakan tindakan kejahatan luar biasa yang merugikan masyarakat,
kelangsungan hidup jutaan hewan, dan memotong mata rantai kehidupan. Kalau
tidak cepat ditanggulangi akan datang kerugian dan bencana yang lebih besar,
bukan hanya kayu-kayu yang dicuri, tapi lingkungan sekitar akan semakin hancur.
Sungguh tragis, para mafia hutan yang mendapatkan keuntungan, tapi masyarakat
yang harus menanggung kerugiannya. Perlu biaya dan waktu lama untuk
mengembalikan kondisi kerusakan alam akibat tindak pidana hutan kembali ke
kondisi semula. “Dunia internasional terus memantau langkah Indonesia
menangani masalah pembalakan liar.” Seperti dikatakan Shiva dalam tulisannya
tentang “Pemiskinan terhadap Lingkungan: Perempuan dan Anak-anak yang Jadi
Korban”, bahwa ekonomi global memiliki banyak sekali kebijakan yang menjamin
kesejahteraan perempuan dan anak, tetapi dalam kenyataannya merekalah yang
pertama kali diperosokkan dalam jurang kemiskinan. Sumber daya alam yang
sejatinya dipakai sebagai sumber untuk mempertahankan hidup kini makin ter-erosi
oleh tingginya permintaan atas sumber tersebut oleh ekonomi pasar yang
didominasi kekuatan global. Perempuan menjadi kelompok yang mengalami
ketertindasan yang lebih besar daripada laki-laki, sekaligus menjadi kelompok
terdepan dalam melakukan protes atas kerusakan lingkungan. Tiap aspek kerusakan
lingkungan diterjemahkan sebagai ancaman yang berbahaya bagi kehidupan generasi
mendatang. Shiva telah menulis empat
tipe ketidakamanan salah satunya adalah ekologi. Krisis ekologi merupakan
bentuk yang paling keras dari ketidakamanan, utamanya dalam kondisi kemiskinan
ketika sungai-sungai tercemari dan kau tak dapat meminum air bersih, ketika
sumber mataair telah tandus dan kau terpaksa bermigrasi. Tidak pernah ada
ketidakamanan yang lebih dahsyat kecuali krisis ekologi. Berbagai konflik yang
terjadi di negara-negara Dunia Ketiga sangat berhubungan dengan praktik
mengeksploitasi sumberdaya yang lebih cepat daripada yang bisa diperbaharui
oleh alam atau praktik menyingkirkan sumberdaya alam dari masyarakat yang
membutuhkannya. Di berbagai masyarakat, bendungan air telah menjadi sumber
konflik yang utama. Ketika kelangkaan air menjelang, tetangga atau keluarga
berbalik saling menyerang satu sama lain. Dr. Vandana Shiva berdiri menentang
GM Products, merintis pengembangan bibit
padi yang jumlahnya banyak dalam tradisi masyarakat India, dan berdiri membela
leluhurnya yang telah mewariskan bibi-bibit makanan untuk anak dan cucu mereka.
Ia juga menentang pembangunan dam yang menggusur banyak kampung dengan segenap
ekologi kehidupan mereka. Ia
menggagas sebuah sistem kepengurusan diri manusia yang ia sebut “Earth
Democracy“. Dalam bukunya
berjudul “Earth Democracy”, ia
menggariskan 10 prinsip atau ciri “Earth
Democracy”.
- “Ecological Democracy – Democracy of all life” [Artinya: Demokrasi Ekologis – demokrasi dari semua kehidupan]
- “Intrinsic worth of all Species and Peoples” [Nilai intrinsik dari semua Spesies dan Manusia]
- “Diversity in Nature and Culture” [Keragaman Alam dan Budaya]
- “Natural Rights to Sustenance” [Artinya: Hal Alamiah dan Berkecukupan]
- “Earth Economy is based on Economic Democracy and Living Economy” [Artinya: Ekonomi Bumi didasarkan pada Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi Kehidupan]
- “Living Economies are built on Local Economies” [Artinya: Ekonomi Kehidupan dibangun di atas Ekonomi Lokal[
- “Living Democracy” [Artinya: Demokrasi untuk Hidup atau Demokrasi berdasarkan realitas Kehidupan]
- “Living Knowledge” [Artinya: Pengetahuan untuk Hidup atau Pengetahuan dari Kehidpuan]
- “Balancing Rights with Responsibility” [Artinya: Menyeimbangkan Hak dengan Tanggungjawab]
- “Globalizing Peace, Care and Compassion” [Artinya: Mengglobalkan Perdamaian, Keperdulian dan Kasih-Sayang]
Dari kesepuluh prinsip ini, dan dari tulisan-tulisan
lain kita ketahui bahwa titik tolak perjuangan Dr. Shiva ialah menanggapi upaya
penyeragaman, heterogenitas versus homogenitas, dengan pijakan keragaman budaya
dan keragaman spesies harus dibela/ dipertahankan dengan cara menentang
penyeragaman dan mengembangkan bibit, tanaman, budaya yang brankaragam yang
diwariskan nenek-moyang kita. Ia mengadvokasi kepentingan keragaman atau
warna-warni kehidupan di muka Bumi. Ia mulai dari bibit beras, lalu meluas ke
berbagai aspek kehidupan manusia.
2.4 Globalisasi dan Lingkungan Hidup
2.4.1 Organisas Lingkungan Hidup
a. UNEP : United Nations Environment Programme (UNEP)
berperan mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas alam sekitar Perserikatan Bangsa-Bangsa
dengan membantu negara-negara berkembang melaksanakan kebijakan mengenai alam
dan menggalakkan sustainable development di dunia. (UNEP) memberikan pengertian ekonomi hijau sebagai
kegiatan perekonomian yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial
di satu sisi, tetapi di sisi lain mampu menghilangkan dampak negatif
pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam.
Menurut UNEP, ekonomi hijau merupakan kegiatan perekonomian yang rendah karbon,
tidak mengandalkan bahan bakar fosil, hemat sumber daya alam dan berkeadilan
sosial
b. Green Peace : Greenpeace merupakan
salah satu organisasi internasional nonpemerintah. Aspek internasional
dikarenakan
Greenpeace
mengampanyekan nilai-nilainya ke seluruh dunia, tidak terbatas pada lingkungan
lokal ataupun regional. Greenpeace
mengategorikan permasalahan global lingkungan hidup
menjadi substansi racun, energi dan atmosfer, isu nuklir, dan laut dan ekologi
bumi. Greenpeace kemudian memusatkan upaya penyelamatan bumi dalam
praktik “bearing witness”, yakni aksi politik yang menghubungkan
sensitivitas moral dengan tanggung jawab politik. Artinya, harus ada yang mau
melakukan aksi untuk mencegah ketidakadilan yang lebih lanjut terhadap masalah
lingkungan. Dari sini, Greenpeace melakukan aksi secara
langsung, nonviolent, dan pengajakan melalui media yang tersebar di
dunia. Strategi yang dilakukanGreenpeace di antaranya adalah melobi
pemerintah, mengumpulkan informasi, mengorganisasi protes dan boikot,
memproduksi rekaman album dan cinderamata edukasional lainnya, serta
menjabarkan penelitian ilmiah (Wapner, 2000:391).
Kekuatan utama yang dimiliki Greenpeace terletak
pada pengampanyean nilai-nilainya yang sangat humanis. Kampanye seringkali
dilakukan melalui iklan yang disebarkan dalam media elektronik terutama via
internet. Boettger (2001:12 dalam Doyle, 2007:131) mengungkapkan bahwa, “Greenpeace
can be regarded as an organisation with photography as its vital medium...”
dan BBC (1990 dalam Doyle, 2007:131) mengungkapkan bahwa, “environment
stories really need good pictures; global warming is very difficult because you
can’t actually see global warming”. Menanggapi hal ini, Greenpeace mampu
menyediakan gambar-gambar menarik yang meletakkan fenomena dampak pemanasan
global dan perubahan iklim ke dalam bentuk dua dimensi. Strategi komunikasi
melalui penggunaan gambar yang indah dan menakjubkan dikerangkakan secara
visual sebagai aksi langsung dan nonviolent dari Greenpeace.
Upaya Greenpeacemembuahkan hasil melalui dukungan 2.8 juta orang di
seluruh dunia, dengan 27 kantor nasional dan regional, serta kehadirannya di 41
negara (Greenpeace International, 2006 dalam Doyle, 2007:132).
c.
WWF : merupakan
bagian independen dari jaringan dari WWF dan afiliasinya, organisasi
pelestarian global yang bekerja di 100 negara di dunia. Misi utama WWF Indonesia adalah melestarikan, merestorasi
serta mengelola ekosistem dan keanekaragaman hayati Indonesia secara
berkeadilan, demi keberlanjutan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia,
yang dicapai melalui upaya:
1) Menerapkan
dan mempromosikan praktik-praktik konservasi terbaik yang berbasis sains,
inovasi dan kearifan tradisional
2) Memfasilitasi
pemberdayaan kelompok-kelompok yang rentan, membangun koalisi dan bermitra
dengan masyarakat madani, dan bekerjasama dengan pemerintah dan sektor swasta
3) Mempromosikan
etika pelestarian yang kuat, kesadaran serta aksi konservasi di kalangan
masyarakat Indonesia
4) Melakukan
advokasi dan mempengaruhi kebijakan, hukum, dan institusi terkait untuk
mendorong tata kelola lingkungan yang lebih baik
d. The Nature Conservancy: sebuah
organisasi internasional yang di bentuk di Amerika serikat pada tahun 1951.
Organisasi konservasi global yang didedikasikan untuk melestarikan tanaman,
hewan, dan komunitas alami yang mewakili keanekaragaman kehidupan di Bumi
dengan melindungi tanah dan air untuk bertahan hidup. Investasi dalam mencari sumber energi alternatif yang
terbarukan akan membantu Indonesia dalam mengurangi ketergantungannya pada
bahan bakar fosil dan mengurangi emisi bahan kimia berbahaya lain seperti
sulfur dioksida, nitrogen oksida dan merkuri. Dengan memperlambat atau
menghentikan penggundulan hutan, kita dapat menyimpan lebih banyak karbon dan
mengurangi emisi yang menjadi penyebab perubahan iklim, dan terus menuai
manfaat dari hutan yang sehat. Deforestasi menyumbang hingga 25 persen emisi
karbon di seluruh dunia - menebang dan membakar satu pohon berukuran sedang
melepaskan satu metrik ton karbon ke atmosfer.
2.4.2
Program
Lingkungan Hidup
a.
Protokol
Kyoto : adalah sebuah perjanjian dari negara-negara di seluruh
dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Untuk
mengkampanyekan dukungan terhadap Protokol Kyoto di Amerika Serikat, ada
gerakan untuk mendukung Protokol Kyoto yang dilakukan oleh beberapa universitas
terkemuka di Amerika Serikat. Gerakan ini dinamakan Kyoto Now!. Tanpa
Amerika Serikat pun, saat ini sudah ada 127 negara yang mendukung Protokol
Kyoto, merepresentasikan 61% dari seluruh emisi gas rumah kaca di seluruh
dunia. Mudah-mudahan anggota Protokol Kyoto lama kelamaan dapat mempengaruhi
Amerika Serikat untuk mendukung Protokol Kyoto ini.
b.
REDD
dan REDD++: REDD
merupakan suatu pendekatan dan aksi yang dapat mengurangi emisi dari deforestasi
dan degradasi hutan. Seperti yang menjadi tujuan dari Protokol Kyoto dan UNFCCC
sendiri yaitu adanya pengurangan emisi (emission reduction). REDD
berpotensi mengurangi emisi GRK dengan biaya rendah dan waktu yang singkat dan
pada saat yang sama membantu mengurangi tingkat kemiskinan dan memungkinkan
pembangunan berkelanjutan. REDD dianggap sebagai cara paling nyata, murah,
cepat dan saling menguntungkan dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca
(GRK); nyata karena seperlima dari emisi GRK berasal dari deforestasi dan
degradasi hutan (DD); murah karena sebagian besar DD hanya menguntungkan secara
marjinal sehingga pengurangan emisi GRK dari hutan akan lebih murah ketimbang
alat atau instrumen mitigasi lainnya; cepat karena pengurangan yang besar
pada emisi GRK dapat dicapai dengan melakukan reformasi kebijakan dan
tindakan-tindakan lain yang tidak tergantung pada inovasi teknologi; saling
menguntungkan karena berpotensi untuk memperoleh pendapatan dalam jumlah besar
dan perbaikan kepemerintahan dapat menguntungkan kaum miskin di negara-negara
berkembang dan memberikan manfaat lingkungan lain selain yang berkaitan
dengan iklim. REDD-plus menambahkan tiga areal strategis terhadap dua hal yang
telah ditetapkan sebelumnya di Bali. Kelima hal tersebut bertujuan untuk
mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negaranegara
berkembang. Dua ketetapan awal REDD adalah:
·
mengurangi
emisi dari deforestasi dan
·
mengurangi
emisi dari degradasi hutan
Beberapa
strategi yang ditambahkan untuk mengurangi emisi melalui:
·
peranan
konservasi
·
pengelolaan
hutan secara lestari
·
peningkatan
cadangan karbon hutan
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Globalsasi telah merubah seluruh aspek
kehidupan. Perubahanyya terutama berdampak pada alam. Baik secara positif
maupun negatif. Globalisasi mempengaruhi tingkat kebutuhan daripada manusia,
namun tidak semua cara yang digunakan manusia itu baik. Oleh karena itu perlu
adanya kesadaran dalam melakukan globalisasi khususnya karena berdampak pada
alam dan kehidupan bersama
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment